Jumat, 12 Mei 2017

MAKALAH BUDAYA CAROK MADURA



BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Masyarakat Madura dikenal memiliki budaya yang khas, unik, dan, identitas budayanya itu dianggap sebagai jati diri individual maupun komunal etnik Madura dalam berperilaku dan berkehidupan masyarakat Madura memegang teguh CarokCarok adalah pemulihan harga diri ketika diinjak injak oleh orang lain, yang berhubungan dengan harta, tahta, tanah, dan, wanita. Intinya adalah demi kehormatan. Dalam ungkapan Madura Lebbi Bagus Pote Tollang atembang Pote Mata. (Lebih baik mati, dari pada hidup menanggung malu).
Penelitian tentang carok, antara tradisi atau kriminalitas sangat menarik untuk dikaji setidak tidaknya disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: pertama bahwa tradisi Carok memiliki konotasi dan persepektif yang negatif bagi masyarakat luas. Carok diartikan pembunuhan sebagai upaya balas dendam, akan tetapi Carok memiliki makna yang berbeda bagi masyarakat Madura karena berkaitan dengan pemulihan harga diri. Berdasarkan adanya benturan makna atas Carok tersebut maka hal ini menarik untuk diangkat sebagai tulisan dalam penelitian ini. (Singgih, 2008)
Carok merupakan salah satu alternatif penyelesaian sengketa pada masyarakat Madura. Penyelesaian tersebut merupakan penyelesaian dengan menggunakan jalur kekerasaan. Penyelesaian dengan jalan kekerasaan ini sering kali menutup kemungkinan penyelesaian sengketa secara damai. Dalam kaitan ini tampak bahwa sengketa masyarakat diakhiri dengan memunculkan sengketa yang lain. Penulis tertarik untuk mengungkap fenomena Carok sebagai salah satu upaya penyelesaian sengketa yang berbenturan dengan aturan Hukum Negara di Indonesia. Dalam realitasnya, prilaku dan pola kelompok etnik Madura tampak sering dikesankan atas dasar prasangka subjektif oleh orang luar Madura. Kesan demikian muncul dari suatu pencitraan yang tidak tepat, baik berkonotasi positif maupun negatif. Prasangka subjektif itulah yang seringkali melahirkan persepsi dan pola pandang yang keliru sehingga menimbulkan keputusan individual secara sepihak yang ternyata keliru karena subjektifitasnya. (Singgih, 2008).




B.     RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang diatas rumasan masalah penelitian ini adalah “Apakah itu carok, tradisi atau kriminalitas?”
C.    TUJUAN
Berdasarkan rumusan masalah diatas tujuan penelitian ini adalah”Untuk mengetahui apakah carok bisa disebut sebagai tradisi atau bahkan kriminalitas”.
D.    MANFAAT
Agar pembaca, masyarakat dan penulis khususnya mengetahui bahwa carok bukanlah jalan yang baik untuk menyelesaikan suatu masalah.

























BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A.    TRADISI CAROK
a.      Pengertian carok
Carok adalah sebuah pembelaan harga diri ketika diinjak-injak oleh orang lain, yang berhubungan dengan harta, tahta, dan, wanita. Intinya adalah demi kehormatan. Ungkapan etnografi yang menyatakan, etambang pote mata lebih bagus pote tolang (dari pada hidup menanggung perasaan malu, lebih baik mati berkalang tanah) yang menjadi motivasi Carok. (Mien, 2007)
Carok yaitu suatu tindakan atau upaya pembunuhan (karena adanya penganiayaan berat) menggunakan senjata tajam, pada umumnya cekurit yang dilakukan oleh orang laki-laki terhadap laki-laki lain yang telah melakukan pelecehan terhadap harga diri (baik secara idividu sebagai suami maupun secara kolektif yang mencakup kerabat atau keluarga). Terutama harga diri (martabat) yang kaitannya dengan masalah kehormatan istri sehingga timbul perasaan malu (maloh) saat terjadi pelecehan. (Wiyata, 2002:184)
Budaya Carok dan Celurit Menurut Zulkarnain, dkk. (2003: 75) Carok dalam bahasa Kawikuno artinya perkelahian. Biasanya melibatkan dua orang atau dua keluarga besar. Carok adalah sebuah pembelaan harga diri ketika diinjak-injak oleh orang lain, yang berhubungan dengan harta, tahta, dan wanita.
Semua kasus Carok diawali oleh konflik, meskipun konflik tersebut dilatar belakangi oleh permasalahan berbeda (masalah perempuan, kasus lainnya tuduhan mencuri, perebutan warisan, pembalasan dendam), semuanya mengacu pada akar yang sama, yaitu perasaan malo karena pelecehan harga diri (martabat). Untuk memulihkan harga diri yang dilecehkan, mereka melekukan Carok, yang ternyata selalu mendapat dukungan dari lingkungan sosial. Apapun cara Carok yang dilakukan, semua pelaku Carok yang berhasil membunuh musuhnya menunjukkan perasaan lega, puas, dan bangga. Pengertian harga diri (martabat) dalam kaitannya dengan perasaan malo yang ditimbulkannya ketika terjadi pelecehan, kedua hal ini merupakan faktor pemicu utama orang Madura melakukan Carok, selain faktor lainnya (A. Latief, 2002).
Dalam realitas sosial kehidupan Madura, tindakan mengganggu istri orang atau perselingkuhan merupakan bentuk pelecehan harga diri paling menyakitkan bagi laki-laki orang Madura, dan biasanya tidak ada cara untuk menebusnya kecuali dengan membunuh (Carok) orang yang mengganggunya. Kaitannya dengan ini, seorang penyair Madura, Imron (Dalam Wiyata, 2006:173), menemukan ungkapan yang berbunyi, “saya kawin dinikahkan oleh penghulu, disaksikan oleh orang banyak, serta dengan memenuhi peraturan agama. Maka siapa saja yang mengganggu istri saya, berarti menghina agama saya sekaligus menginjak-injak kepala saya.” Dari ungkapan ini sudah jelas, bahwa martabat dan kehormatan istri merupakan manifestasi dari martabat dan kehormatan suami, karena istri adalah landasan kematian. (Wiyata, 2006: 170-174)
Jika dicermati lebih dalam lagi dari apa yang dipaparkan di atas, pada dasarnya mengandung makna bagaimana orang Madura memandang institusi perkawinan, secara  khusus, dan bentuk pelecehan harga diri yang lain secara umum, sebagai bentuk maskulinitas. Orang Madura memandang institusi perkawinan sebagai manifestasi kelaki-lakian (maskulinitas). Maksudnya, seorang laki-laki baru akan menemukan dirinya sebagai seorang laki-laki apabila telah menikah.
Dalam ungkapan lain, tindakan mengganggu istri disebut sebagai aghaja’ nyaba, yang pengertiannya sama dengan tindakan mempertaruhkan atau mempermainkan nyawa. Dalam kehidupan sosial di antara hak-hak dan kewajiban itu, boleh jadi hak-hak dan kewajiban masyarakat, misalnya dalam konteks Carok, perlindungan terhadap perempuan (istri), menjadi bagian dari kewajiban masyarakat, sehingga tindakan mengganggu kehormatan mereka selalu dimaknai sebagai tindakan arosak atoran (merusak tatanan sosial). Tindakan mengganggu kehormatan istri, selain dianggap tindakan yang melecehkan harga diri suaminya, juga dianggap merusak tatanan sosial. Oleh karena itu, menurut pandangan orang Madura, pelakunya tidak bisa diampuni dan harus dibunuh. Jika terjadi permasalahan berupa gangguan terhadap istri, ada dua alternatif yang akan dilakukan oleh seorang suami.
b.      Tujuan Carok
Carok senantiasa dilakukan sebagai ritus balas dendam terhadap orang yang melakukan pelecehan harga diri, terutama gangguan terhadap isteri, yang membuat lelaki Madura malo (malu) dan tada’ tajina (direndahkan martabatnya). Carok telah menjadi arena reproduksi kekerasan. Korban carok, tidak dikubur di pemakaman umum melainkan di halaman rumah. Pakaiannya yang berlumur darah disimpan di almari khusus agar pengalaman traumatik terus berkobar guna mewariskan balas dendam
Zulkarnain, dkk. (2003: 80) Sasaran utama carok balasan adalah pemenang carok sebelumnya atau kerabat dekat (taretan dalem) sebagai representasi musuh. Pilihan sasaran jatuh pada orang yang dianggap kuat secara fisik maupun ekonomi agar keluarga musuh tidak mampu melakukan carok balasan. Sedangkan keberadaan celurit punya makna filosofi di mata orang Madura, ini bisa dilihat dari bentuknya yang seperti tanda tanya, itu menunjukkan bahwa orang Madura selalu tidak puas terhadap fenomena yang terjadi di sekitarnya. Kebiasaan orang Madura ketika membawa celurit selalu diletakkan di pinggang samping kiri, karena menurut orang Madura tradisi seperti itu sebagai upaya pembelaan harga diri laki-laki di Madura, dan sebagai pelengkap karena tulang rusuknya laki-laki kurang satu. Makanya orang Madura menggunakan celurit untuk melengkapi tulang rusuknya yang kurang satu. Celurit untuk membela istri, harta, dan tahta ketika digangu orang lain, dan orang laki-laki Madura belum lengkap tanpa celurit. Keberadaan orang Madura sebagai orang tegalan yang tandus dan gersang, membuat mereka merasa kecil dan rendah hati sebagai orang yang jauh dari pusat kekuasaan Singasari pada waktu itu.
c.       Penyebab
Eksistensi Carok Menurut Fakhruddin, dkk. (1991: 132-133). Adapun yang menjadi eksistensi budaya carok sebagai berikut:
1.      Alam yang gersang. Teror eceran berbentuk carok merajalela akibat alam gersang, kemiskinan, dan ledakan demografis. Pelembagaan kekerasan carok terkait erat dengan mentalitas egolatri (pemujaan martabat secara berlebihan) sebagai akibat tidak langsung dari keterpurukan ekologis (ecological scarcity). Lingkungan sosial mengondisikan lelaki Madura merasa tidak cukup hanya berlindung kepada Tuhan. Konsekuensinya senjata tajam jadi atribut ke mana kaum lelaki bepergian yang ditunjukkan dengan kebiasaan ”nyekep”. Senjata tajam dianggap sebagai kancana sholawat (teman shalawat).
2.      Persetujuan sosial melalui ungkapan-ungakpan. Ungkapan-ungkapan Madura memberikan persetujuan sosial dan pembenaran kultur tradisi carok. Ungkapan-ungkapan tersebut diantaranya: Mon lo’ bangal acarok ja’ ngako oreng Madure (Jika tidak berani melakukan carok jangan mengaku sebagai orang Madura); oreng lake’ mate acarok, oreng bine’ mate arembi’ (laki-laki mati karena carok, perempuan mati karena melahirkan); ango’an poteya tolang etembang poteya mata (lebih baik berputih tulang [mati] daripada berputih mata [menanggung malu]).
3.      Proteksi berlebihan terhadap kaum wanita. Carok refleksi monopoli kekuasaan laki-laki. Ini ditandai perlindungan secara berlebihan terhadap kaum perempuan sebagaimana tampak dalam pola pemukiman kampong meji dan taneyan lanjang. Solidaritas internal antar penghuni kampong meji sangat kuat sedangkan dalam lingkup sosial lebih luas solidaritas cenderung rendah. Pelecehan atas salah satu anggota komunitas dimaknai sebagai perendahan martabat seluruh warga kampong meji.
4.      Taneyan lanjang (halaman memanjang), memberikan proteksi khusus terhadap anak perempuan dari segala bentuk pelecehan seksual. Semua tamu laki-laki hanya diterima di surau yang terletak di ujung halaman bagian Barat. Martabat istri perwujudan dari kehormatan kaum laki-laki karena istri dianggap sebagai bantalla pate (alas kematian). Mengganggu istri merupakan bentuk pelecehan paling menyakitkan bagi lelaki Madura.
5.      Upaya meraih status sosial. Carok oleh sebagian pelakunya dipandang sebagai alat untuk meraih status sosial di dunia blater. Kultur blater dekat dengan unsur-unsur religio-magis, kekebalan, bela diri, kekerasan, dunia hitam, poligami, dan sangat menjunjung tinggi kehormatan harga diri. Blater, memiliki peran sentral sebagai pemimpin informal di pedesaan. Figur blater sejajar posisinya dengan figur kyai (Madura : keyae) sebagai sosok pemimpin informal di Madura Bahkan banyak di antara mereka yang menjadi kepala desa. Tentu saja, masyarakat cenderung takut, bukan menaruh hormat, kepada kepala desa bekas blater itu, mengingat asal-usulnya yang kelam. Tidak seperti figur kyai yang disegani dan dihormati karena kemampuannya dalam keagamaan. Yang menarik di sini, juga terdapatnya figur kyai yang mempunyai latar belakang blater atau sebaliknya (Wiyata, 2002).
6.      Blater di Madura juga kerap dihubungkan dengan remo. Tradisi remo (arisan kaum blater) merupakan institusi budaya pendukung dan pelestari eksistensi carok. Remo berfungsi ganda, sebagai tempat transaksi ekonomi, sekaligus penguatan status sosial. Juga merupakan sarana untuk membangun jaringan sosial di kalangan bromocorah. Remo bisa mengumpulkan uang dalam jumlah besar dalam tempo semalam. Lemahnya hukum. Kebiasaan para pemenang carok untuk nabang (memperoleh keringanan hukum melalui rekayasa peradilan) dengan menyuap polisi, hakim, dan jaksa juga turut berperan melembagakan kekerasan di Madura.
Carok telah menjadi komoditas hukum bagi mafia peradilan guna mengutip rente ekonomi dengan memperdagangkan kriminalitas dan kekerasan. Ini salah satu sebab memberantas carok ibarat menegakkan benang basah.
d.      Prasyarat Carok
Persiapan untuk melakukan carok, termasuk memenuhi 3 syarat utama, yaitu kadigdajan, tampeng sereng, dan banda. (Wiyata, 2002: 45). Untuk lebih jelasnya dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.      Kadigdajan (kapasitas diri) adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan kesiapan diri secara fisik dan mental. Prasyarat fisik dapat berupa penguasaan teknik bela diri. Prasyarat mental, pengertiannya lebih terkait dengan apakah orang tersebut punya nyali, angko (pemberani), ataupun juga jago.
2.      Tampeng sereng, menyangkut kepemilikan kekuatan yang diperoleh secara non-fisik, seperti membentengi diri sehingga kebal terhadap serangan musuh. Untuk maksud ini, pelaku carok meminta bantuan seorang “kiai”, yang akan melakukan “pengisian” mantra-mantra ke badan pelaku carok. Aktifitas berkunjung ke seorang ”kiai” ini disebut nyabis.
3.      Prasyarat ketiga adalah tersedianya dana (banda). Dalam konteks ini, carok mempunyai dimensi ekonomi, karena carok membutuhkan banyak biaya. Biaya diperlukan antara lain untuk melakukan persiapan mental dengan menebus mantra-mantra yang diperlukan, dan membeli celurit dengan kualitas nomor satu, dan juga diperlukan sebagai persiapan untuk menyelenggarakan kegiatan ritual keagamaan bagi pelaku carok yang kemungkinan terbunuh (selamatan 7 hari, 40 hari, 100 hari, hingga 1000 hari sejak kematian). Selain itu, juga untuk biaya hidup sanak keluarga (istri dan anak) yang kemungkinan ditinggal mati atau ditinggal masuk penjara. Untuk pelaku carok yang masih hidup, maka dana dibutuhkan untuk nabang, yaitu merekayasa proses peradilan dengan menyerahkan sejumlah uang kepada oknum-oknum aparat peradilan agar hukuman menjadi ringan, atau mengganti terdakwa carok dengan orang lain.

e.       Tata Cara Pelaksanaan Carok
Carok dapat dilakukan secara ngonggai (menantang duel satu lawan satu), atau nyelep (menikam musuh dari belakang). Di zaman awal kemunculannya, carok banyak dilakukan dengan cara ngonggai. Semenjak dekade 1970-an carok lebih banyak dilakukan dengan cara nyelep. Dengan adanya kebiasaan melakukan carok dengan cara nyelep maka etika yang bermakna kejantanan bergeser menjadi brutalisme dan egoisme.
Menurut Fakhruddin, dkk. (1991: 86), meskipun semua pelaku carok langsug menyerahkan diri kepada aparat kepolisian, hal ini bukan berarti suatu tindakan jantan (berani bertanggungjawab atas tindakannya) melainkan suatu upaya untuk mendapatkan perlindungan dari aparat kepolisian terhadap serangan balasan keluarga musuhnya. Dan hal itu kemudian tidak mencerminkan kejantanan sama sekali ketika proses rekayasa peradilan dilakukan melalui praktek nabang.
f.       Celurit Sebagai Simbol Carok
Celurit dengan kualitas khusus biasanya dibuat atas dasar pesanan, tidak diperjual belikan secara bebas di pasaran, kecuali celurit yang memang ditujukan sebagai hiasan. Hal ini terkait karena para pengrajin celurit tidak mau karyanya disalah-gunakan oleh orang yang memakainya. (Soedjatmoko dan Bambang Triono, 2005: 64). Akan tetapi, di beberapa pasar desa (ibu kota kecamatan), setiap hari pasaran juga terdapat beberapa pedagang yang secara khusus menjual hasil usaha kerajinan tersebut
B.     TRADISI
Menurut Cannadine, Pengertian Tradisi adalah lembaga baru didandani dengan daya pikat kekunoan yang menentang zaman tetapi menjadi ciptaan mengagumkan.
Pengertian Tradisi dalam Arti Sempit adalah warisan-warisan sosial khusus yang memenuhi syarat saja yaitu yang tetap bertahan hidup di masa kini, yang masih kuat ikatannya dengan kehidupan masa kini.
Pengertian Tradisi dilihat dari aspek benda materialnya ialah benda material yang menunjukkan dan mengingatkan kaitan khususnya dengan kehidupan masa lalu. Contoh tradisi:Candi, Puing kuno, Kereta Kencana, sejumlah benda-benda peninggalan lainnya, jelas termasuk ke dalam pengertian tradisi.
Jadi Tradisi adalah segala sesuatu yang disalurkan atau diwariskan dari masa lalu ke masa kini atau sekarang.
a.      Sejarah Tradisi Lahir
Tradisi lahir disaat tertentu ketika orang menetapkan fragmen tertentu dari warisan masa lalu sebagai tradisi. Tradisi berubah ketika orang memberikan perhatian khusus pada fragmen tradisi tertentu dan mengabaikan fragmen yang lain. Tradisi dapat bertahan dalam jangka waktu tertentu dan tradisi ini dapat hilang bila benda material dibuang dan gagasan ditolek atau dilupakan.
Sejarah Tradisi lahir yaitu melalui dua cara. Cara pertama, tradisi muncul dari bawah melalui mekanisme kemunculan secara spontan dan tidak diharapkan serta melibatkan rakyat banyak. Karena sesuatu alasan, individu tertentu menemukan warisan historis yang menarik. Perhatian, ketakziman, kecintaan dan kekaguman yang kemudian disebarkan melalui berbagai cata, memengaruhi rakyat banyak. Sikap takzim dan kagum itu berubah menjadi perilaku dalam bentuk upacara, penelitiaan dan pemugaran peninggalan purbakala serta menafsir ulang keyakinan lama. Semua perbuatan itu memperkokoh sikap. Kekaguman dan tindakan individu menjadi milik bersama dan berubah menjadi fakta sosial sesungguhnya . Begitulah tradisi dilahirkan. Proses kelahiran tradisi sangat mirip dengan penyebaran temuan baru, hanya saja dalam kasus tradisi ini lebih berarti penemuan atau penemuan kembali yang telah ada di masa lalu ketimbang penciptaan sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya. Cara kedua, tradisi muncul dari atas melalui mekanisme paksaan. Sesuatu yang dianggap sebagai tradisi dipilih dan dijadikan perhatian umum atau dipaksakan oleh individu yang berpengaruh atau berkuasa. Raja mungkin memaksakan tradisi dinastinya kepada rakyatnya. Diktator menarik perhatian rakyatnya kepada kejayaan bangsanya di masa lalu. Kemudian militer menciptakan sejarah pertempuran besar kepada pasukannya. Perancang mode terkenal menemukan inspirasi dari masa lalu dan mendiktekan gaya "kuno" kepada konsumen.
Dua jalan kelahiran tradisi itu tidak membedakan kadarnya. Perbedaannya terdapat antara tradisi asli yaitu tradisi yang sudah ada di masa lalu dan tradisi buatan yaitu murni khayalan atau pemikiran masa lalu. Tradisi buatan mungkin lahir ketika orang memahami impian masa lalu dan mampu menularkan impiannya itu kepada orang banyak. Lebih sering tradisi buatan ini dipaksakan dari atas oleh penguasa untuk mencapai tujuan politik mereka.


b.      Penyebab Perubahan Tradisi
Peyebab Perubahan Tradisi disebabkan oleh banyaknya tradisi dan bentrokan antara tradisi yang satu dengan saingannya. Benturan itu dapat terjadi antara tradisi masyarakat atau antara kultur yang berbeda atau di dalam masyarakat tertentu.
Perubahan tradisi dari segi kuantitatifnya terlihat dalam jumlah penganut atau pendukungnya. Rakyat dapat ditarik untuk mengikuti tradisi tertentu yang kemudian memengaruhi seluruh rakyat satu negara atau bahkan dapat mencapai skala global.
Perubahan tradisi dari segi kualitatifnya yaitu perubahan kadar tradisi. Gagasan, simbol dan nilai tertentu ditambahkan dan yang lainnya dibuang.
Fungsi tradisi yaitu sebagai berikut :
1.      Tradisi berfungsi sebagai penyedia fragmen warisan historis yang kita pandang bermanfaat. Tradisi yang seperti onggokan gagasan dan material yang dapat digunakan orang dalam tindakan kini dan untuk membangun masa depan berdasarkan pengalaman masa lalu. Contoh : peran yang harus diteladani (misalnya, tradisi kepahlawanan, kepemimpinan karismatis, orang suci atau nabi).
2.      Fungsi tradisi yaitu untuk memberikan legitimasi terhadap pandangan hidup, keyakinan, pranata dan aturan yang sudah ada. Semuanya ini memerlukan pembenaran agar dapat mengikat anggotanya. Contoh : wewenang seorang raja yang disahkan oleh tradisi dari seluruh dinasti terdahulu.
3.      Tradisi berfungsi menyediakan simbol identitas kolektif yang meyakinkan, memperkuat loyalitas primordial terhadap bangsa, komunitas dan kelompok. Contoh Tradisi nasional : dengan lagu, bendera, emblem, mitologi dan ritual umum.
4.      Fungsi Tradisi ialah untuk membantu menyediakan tempat pelarian dari keluhan, ketidakpuasan dan kekecewaan kehidupan modern. Tradisi yang mengesankan masa lalu yang lebih bahagia menyediakan sumber pengganti kebanggalan bila masyarakat berada dalam kritis.
C.    KRIMINALITAS
Kriminalitas menurut bahasa adalah sama dengan kejahatan (pelanggaran yang dapat dihukum) yaitu perkara kejahatan yang dapat dihukum menurut Undang-Undang. (Poerwadarminta:1978)
Sedangkan pengertian kriminalitas menurut istilah diartikan sebagai suatu kejahatan yang tergolong dalam pelanggaran hukum positif (hukum yang berlaku dalam suatu negara). (Zaiah:1985)
Pengertian kejahatan sebagai unsur dalam pengertian kriminalitas, secara sosiologis mempunyai dua unsur-unsur yaitu: 1) Kejahatan itu ialah perbuatan yang merugikan secara ekonomis dan merugikan secara psikologis. 2) Melukai perasaan susila dari suatu segerombolan manusia, di mana orang-orang itu berhak melahirkan celaan. (Sidik:1955)
Dengan demikian, pengertian kriminalitas adalah segala macam bentuk tindakan dan perbuatan yang merugikan secara ekonomis dan psikologis yang melanggar hukum yang berlaku dalam negara Indonesia serta norma-norma sosial dan agama























BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A.    METODE PENELITIAN
Dalam penelitian ini saya memilih menggunakan metode historis karena. Metode historis bertujuan untuk merekonstruksi masa lalu secara sistematis dan obyektif dengan mengumpulkan, menilai, memverifikasi dan mensintesiskan bukti untuk menetapkan fakta dan mencapai konklusi yang dapat dipertahankan, seringkali dalam hubungan hipotesis tertentu. Dengan metode historis, seorang ilmuwan sosial peneliti historis yaitu orang yang mengajukan pertanyaan terbuka mengenai peristiwa masa lalu dan menjawabnya dengan fakta terpilih yang disusun dalam bentuk paradigma penjelasan.
Dengan demikian, penelitian dengan metode historis merupakan penelitian yang kritis terhadap keadaan-keadaan, perkembangan, serta pengalaman di masa lampau dan menimbang secara teliti dan hati-hati terhadap validitas dari sumber-sumber sejarah serta interprestasi dari sumber-sumber keterangan tersebut.
B.     OBJEK PENELITIAN
Dalam penelitian ini saya memilih masyarakat sebagai objek penelitian saya karena pelaku carok itu sendiri adalah masyarakat, selain itu karna masyarakat adalah media pembawa tradisi tersebut dari masa lalu ke masa sekarang
C.    INSTRUMEN PENELITIAN
1.    Wawancara
Wawancara merupakan salah-satu usaha seseorang untuk mengetahui atau untuk memperoleh informasi dengan proses tanya jawab kepada beberapa orang yang mengetahui seluk-beluk tentang Carok secara keseluruhan yang terdiri dari tokoh masyarakat setempat. Hal ini dilakukan untuk memperoleh suatu informasi yang bersifat faktual dan nyata.
2.    Dokumentasi
Dokumentasi merupakan suatu bukti dari penelitian Carok di desa panglegur-pabian. Dokumentasi tersebut antara lain seperti; foto, film, video penelitian, dll. Sehingga dapat menjadi salah satu media yang mendukung dan suatu pembuktian yang nyata dalam sebuah penelitian. Namun, dalam penelitian ini saya menggunakan dokumentasi yang berbentuk foto/gambar.


D.    SETTING PENELITIAN
Saya memilih desa panglegur pabian, menjadi tempat penelitian saya. Karena menurut saya, disana saya bisa mendapat banyak pengetahuan tentang carok.































BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A.    Pendapat masyarakat tentang carok
Pada suku Madura, tindakan kekerasan mendapat pembenaran secara budaya dan bahkan mendapat persetujuan sosial jika tindakan itu bertujuan mempertahankan harga diri dan kehormatan. Carok biasanya terjadi jika menyangkut masalah-masalah yang menyangkut kehormatan/harga diri bagi orang Madura (sebagian besar karena masalah perselingkuhan dan harkat martabat/kehormatan keluarga).
Pandangan itu berangkat dari anggapan bahwa karakteristik (sikap dan perilaku) masyarakat Madura itu mudah tersinggung, gampang curiga pada orang lain, temperamental atau gampang marah, pendendam serta suka melakukan tindakan kekerasan. Bahkan, bila orang Madura dipermalukan, seketika itu juga ia akan menuntut balas atau menunggu kesempatan lain untuk melakukan tindakan balasan.
Pada kenyataannya, salah satu karakteristik sosok Madura yang menonjol adalah karakter yang apa adanya. Artinya, sifat masyarakat etnik ini memang ekspresif, spontan, dan terbuka, ketika  Lingkungan Sosial Budaya Madura Ekspresivitas, spontanitas, dan keterbukaan orang Madura, senantiasa termanifestasikan ketika harus merespon segala sesuatu yang dihadapi, khususnya terhadap perlakuan oranglain atas dirinya. Misalnya, jika perlakuan itu membuat hati senang, maka secara terus terang tanpa basa-basi, mereka akan mengungkapkan rasa terima kasihnya seketika itu juga. Tetapi sebaliknya, mereka akan spontan bereaksi keras bila perlakuan terhadap dirinya dianggap tidak adil dan menyakitkan hati.
Keputusan perlu tidaknya menggunakan kekerasan fisik dalam tindakan resistensi ini sangat tergantung pada tingkat pelecehan yang mereka rasakan. Pada tingkat ekstrim, jika perlu mereka bersedia mengorbankan nyawa. Sikap dan perilaku ini tercermin dalam sebuah ungkapan: Ango'an Poteya Tolang, Etembhang Poteya Mata (artinya, kematian lebih dikehendaki daripada harus hidup dengan menanggung perasaan malu). Sebaliknya, jika harga diri orang Madura dihargai sebagaimana mestinya, sudah dapat dipastikan mereka akan menunjukkan sikap dan perilaku andhap asor.
Mereka akan amat ramah, sopan, hormat dan rendah hati. Bahkan, secara kualitatif tidak jarang justru bisa lebih dari pada itu. Contohnya, ada ungkapan, oreng dadi taretan (artinya, orang lain yang tidak punya hubungan apa-apa akan diperlakukan layaknya saudara sendiri). Suatu sikap dan perilaku kultural yang selama ini kurang dipahami oleh orang luar. Carok itu bisa terjadi kepada siapa saja. Artinya, meski carok itu bukanlah tradisi atau menganut garis turunan, tapi kalau menyangkut harga diri,martabat keluarga yang dilecehkan, maka carok bisa jadi cara terbaik untuk menyelesaikan. Contohnya, ada satu keluarga yang tidak carok, namun suatu ketika kepala keluarga itu tewas gara-gara dicarok. Hampir bisa dipastikan sang anak ketika kejadian masih kecil, pada saat dewasa akan melakukan perhitungan dengansi pembunuh orangtuanya. Apa yang dilakukan si anak yang sudah dewasa itu bukanlah sikap balas dendam. Tetapi, merupakan pembelaan atas nama keluarga. Hal sepertiini bisa terjadi sampai mengakar. Karena itu, jangan heran, kalau mendengar cerita carok yang terjadi antar keluarga secara berkepanjangan. 
Begitu pula kasus Carok lain yang terjadi di Madura, selalu bersumber dari perasaan malo tidak selalu hanya muncul secara sepihak, tapi adakalanya pada kedua pihak. Salah satu contoh kasus adalah Carok yang melibatkan Kamaluddin dan Mokarram ketika melawan Mat Tiken. Kamalludin merasa malo karena tindakan Mat Tiken yang mengganggu istrinya dimaknai sebagai pelecehan terhadap harga dirinya sebagai seorang suami, oleh karena itu, Kamaluddin merasa malo, kemudian melakukan Carok kepada Mat Tiken. Mokkaram yang ikut membantu Kamaluddin ketika menghadapi Mat Tiken juga merasa ikutmalo, karena Kamaluddin adalah saudara sepupunya, yang dalam kategori sistem kekerabatan Madura termasuk dalam kategori taretan dalem. Cara Kamaluddin dan Mokaram melakukan Carok tersebut, oleh Mat Tiken, dimaknai pula sebagai pelecehan terhadap harga dirinya sehingga menimbulkan perasaan malo.
Dengan mengacu pada salah satu contoh kasus Carok tersebut, pelecehan harga diri sama artinya dengan pelecehan terhadap kapasitas diri. Padahal, kapasitas diri seseorang secara sosial tidak dapat dipisahkan dengan peran dan statusnya dalam struktursosial. Peran dan status sosial ini dalam prakteknya tidak cukup hanya disadari oleh individu yang bersangkutan, tetapi harus mendapat pengakuan dari orang atau lingkungan sosialnya. Bahkan, pada setiap bentuk relasi sosial antara satu orang dan yang lainnya harus saling menghargai peran dan status sosial masingmasing akan tetapi, ada kalanya hal ini tidak dipatuhi. Bagi orang Madura, tindakan tidak menghargai dan tidak mengakui atau mengingkari peran dan sosial pada gilirannya timbullah perasaan malo. Dalam bahasa Madura, selain kata malo, juga terdapat kata todus, yang dalam bahasa Indonesia selalu diterjemahkan sebagai malu. Dalam konteks kehidupan sosial budaya Madura, antara malo dan todus  mempunyai pengertian yang sangat berbeda. Malo bukanlah suatu bentuk lain dari ungkapan perasaan todus(A. Latief, 2002).
Pada dasarnya, todus lebih merupakan suatu ungkapan keengganan (tidak ada kemauan) melakukan sesuatu, karena adanya berbagai kendala yang bersifat sosial budaya. Misalnya, menurut adaptasi kebiasaan yang berlaku di Madura, seorang menantu ketika sedang berbicara dengan mertuanya tidak boleh menatap wajahnya secara langsung. Setiap menantu akan merasa todus  untuk berbicara kepada mertuanya dengan cara seperti itu. Jika kemudian menantu itu tidak disengaja melanggar adat kebiasaan ini maka dia akan merasa todus  kepada lingkungan sosialnya, dan akan disebut sebagai orang ta’tao todus (tidak tahu malu) atau janggal (tidak mengerti etika kesopanan).
Dengan demikian, todus  muncul dari dalam diri seseorang sebagai akibat dari tindakan dirinya sendiri yang menyimpang dari aturanaturan normatif. Sebaliknya, malo  muncul sebagai akibat dari perlakuan orang lain yang mengingkari atau tidak mengakui kapasitas dirinya. Orang Madura yang diperlakukan seperti itu sama artinya dengan dilecehkannya harga dirinya. Mereka kemudian akan selalu melakukan tindakan perlawanan sebagai upaya untuk memulihkan harga diri yang dilecehkan itu. Tindakan perlawanan tersebut cenderung sangat keras (dalam bentuk ekstrim adalah pembunuhan). Suatu ungkapan yang berbunyi ango’an poteya tolang etembang poteya mata (lebih baik mati daripada harus menanggung perasaan malo) memberi indikasi sangat kuat tentang hal itu.
Bagi pelaku Carok yang menang dan tergolong sebagai orang jago, ada kecenderungan akan selalu menyimpan celurit yang pernah digunakan ketika membunuh musuhnya sebagai bukti atas kemenangannya itu. Celurit ini disimpan dan dirawat dengan baik, tanpa mengusik sedikit pun sisasisa darah yang masih melekat, meskipun akhirnya menjadi kering dan terlihat sebagai bercakbercak hitam. Bercakbercak darah inilah yang menjadi tanda bukti kepada semua orang bahwa celurit itu pernah dipakai untuk membunuh musuhnya. Dengan demikian, celurit tersebut menjadi simbolisasi kemenangannya.
B.     Penyelesaian sengketa secara damai selain menggunakan carok
                Ketika terjadi pelanggaran norma-norma di dalam masyarakat berarti hukum yang berfungsi sebagai pengendali kontrol sosial yang membuat keadaan tetap damai telah dilanggar. Bentuk-bentuk pelanggaran tidaklah ditolerir dalam derajat yang sama karena konsepsi batasbatas pelanggaran yang dapat ditolerir bersifat relatif, berbedabeda sesuai dengan kebudayaan masyarakat setempat dan kebudayaan itu sendiri bersifat relatif.
                Mengenai masyarakat Madura di Indonesia, telah menunjukan betapa identiknya Islam dan pentingnya peranan ulama atau kyai dalam kehidupan orang Madura. Pengaruh Agama Islam terhadap unsur kehidupan masyarakat Madura dapat dilihat terutamanya pada hubungan yang erat antara ulama dengan anggota masyarakat. Besarnya peranan Islam dan ulama atau kyai di dalam kehidupan orang Madura tidak hanya diketahui oleh masyarakat umum tetapi juga pihak pemerintah Indonesia.
                Dalam konteks rancangan pembangunan misalnya, pihak ulama atau kyai yang lazimnya didekati untuk mengetahui pandangan masyarakat Madura. Selain unsur tersebut, bahasa dan budaya Madura merupakan unsur yang penting untuk membedakan mereka daripada etnik lain yang terdapat di Jawa Timur. Sehubungan dengan itu, dapat disimpulkan bahwa agama Islam, ulama atau kyai dan bahasa Madura dapat dianggap sebagai asas atau panutan kepada pembentukan identitas masyarakat Madura.
                Sehingga diharapkan dapat dilakukan penyelesaian secara damai dengan melibatkan ulama atau tokoh agama yang menjadi panutan tersebut sebagai pihak ketiga yang dapat memberikan jalan tengah terbaik dan dapat diterima oleh kedua belah pihak yang bersengketa tentunya selain daripada penyelesaian melalui jalur hukum.














BAB V
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Carok adalah tindakan pembalasan dendam yang disebabkan oleh pelecehan harga diri seseorang terhadap orang lain. Tindakan pembalasan dendam ini dilakukan dengan adu duel (menggunakan senjata celurit) hingga ada korban yang mati, satu lawan satu dan antara laki-laki. Bisa saja dilakukan secara massal (Carok massal), namun jarang terjadi. Motivasi Carok adalah pelecehan harga diri terutama masalah perempuan, istri dan anggota keluarga, mempertahankan martabat, perebutan harta warisan dan pembalasan dendam karena kakak kandungnya dibunuh.
Carok adalah solusi bagi masyarakat Madura dalam menyelesaikan konflik, karena sejarah yang sudah berabad-abad lamanya membentuk mereka untuk tidak meyakini  dan mempercayai pengadilan atau hukum yang berlaku. Carok mungkin bukan peredam konflik. Tetapi salah satu unsur Carok yaitu remo, dapat menjadi peredam konflik karena merupakan tempat berkumpulnya para jagoan desa. 
Pada zaman sekarang carok bagi masyarakat Madura bukanlah dianggap sebagai perbedaan yang perlu dinilai negatif atau dipertentangkan mengingat carok sendiri adalah merupakan bukan penyelesaian sengketa yang mutlak dalam arti masih dilakukannya penyelesaian secara damai sebagai antisipasi terjadinya carok tersebut yakni dengan jalan melibatkan ulama atau tokoh agama setempat yang menjadi panutan dalam masyarakat sebagai pihak ketiga dalam upaya menyelesaikan permasalahan tersebut.
B.     SARAN
Carok merupakan kekurang mampuan sebagian masyarakat Madura dalam mengekspresikan budi bahasa, karena mereka lebih mengedepankan perilaku-perilaku agresif secara fisik untuk membunuh orang-orang yang dianggap musuh, sehingga konflik yang berpangkal pada pelecehan harga diri tidak akan pernah mencapai rekonsiliasi. Carok hanya akan mengakibatkan masalah-masalah baru yang mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang karena masalah yang sepele. Tradisi seperti ini hendaknya dihapuskan karena hanya akan mengakibatkan nyawa melayang dengan sia-sia.



DAFTAR PUSTAKA
Mien Ahmad Rifai,”Manusia Madura”,Pilar Media, Yogyakarta, 2007.
A. Latief Wiyata,”Carok; Konflik Kekerasaan dan Harga Diri Orang Madura”, LKIS, Yogyakarta,  2002.
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Cet. IV; Jakarta: Balai Pustaka, 1978). Zaiah Daradjat, Membina Nilai-Nilai Moral di Indonesia (Cet. IV; Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1985).
Sidik Doedireja, Kriminalitas (Bogor: Pelita, 1955).
http://www.kompasiana.com/ardieinstein/budaya-carok-sang-legenda-pak sakera_54f413dc7455139f2b6c868c
Zulakrnain, dkk. 2003. Sejarah Sumenep. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Sumenep
Fakhruddin, dkk. 1991. Senjata Tradisional Lampung. Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah Dan Nilai Tradisional, Bagian Proyek Inventarisasi Dan Pembendaharaan Nilai-Nilai Budaya Daerah Lampung
Soedjatmoko dan Bambang Triono, 2005, “Clurit dan Memudarnya Makna Carok”, dalam www.liputan6.com

















LAMPIRAN
A.    INSTRUMEN WAWANCARA
B.     ANGKET
C.    DATA
D.    LEMBAR KONSULTASI
E.     FOTO





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MAKALAH BUDAYA CAROK MADURA

BAB I PENDAHULUAN A.     LATAR BELAKANG Masyarakat Madura dikenal memiliki budaya yang khas, unik, dan, identitas budayanya itu d...