BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Masyarakat Madura dikenal memiliki budaya yang khas,
unik, dan, identitas budayanya itu dianggap sebagai jati diri individual maupun
komunal etnik Madura dalam berperilaku dan berkehidupan masyarakat Madura
memegang teguh Carok, Carok adalah pemulihan harga diri
ketika diinjak injak oleh orang lain, yang berhubungan dengan harta, tahta,
tanah, dan, wanita. Intinya adalah demi kehormatan. Dalam ungkapan Madura Lebbi
Bagus Pote Tollang atembang Pote Mata. (Lebih baik mati, dari pada hidup
menanggung malu).
Penelitian tentang carok, antara tradisi atau
kriminalitas sangat menarik untuk dikaji setidak tidaknya disebabkan
oleh beberapa hal, antara lain: pertama bahwa tradisi Carok memiliki
konotasi dan persepektif yang negatif bagi masyarakat luas. Carok diartikan
pembunuhan sebagai upaya balas dendam, akan tetapi Carok memiliki
makna yang berbeda bagi masyarakat Madura karena berkaitan dengan pemulihan
harga diri. Berdasarkan adanya benturan makna atas Carok tersebut
maka hal ini menarik untuk diangkat sebagai tulisan dalam penelitian ini.
(Singgih, 2008)
Carok merupakan
salah satu alternatif penyelesaian sengketa pada masyarakat Madura.
Penyelesaian tersebut merupakan penyelesaian dengan menggunakan jalur
kekerasaan. Penyelesaian dengan jalan kekerasaan ini sering kali menutup
kemungkinan penyelesaian sengketa secara damai. Dalam kaitan ini tampak bahwa
sengketa masyarakat diakhiri dengan memunculkan sengketa yang lain. Penulis
tertarik untuk mengungkap fenomena Carok sebagai salah satu upaya
penyelesaian sengketa yang berbenturan dengan aturan Hukum Negara di Indonesia.
Dalam realitasnya, prilaku dan pola kelompok etnik Madura tampak sering
dikesankan atas dasar prasangka subjektif oleh orang luar Madura. Kesan
demikian muncul dari suatu pencitraan yang tidak tepat, baik berkonotasi
positif maupun negatif. Prasangka subjektif itulah yang seringkali melahirkan
persepsi dan pola pandang yang keliru sehingga menimbulkan keputusan individual
secara sepihak yang ternyata keliru karena subjektifitasnya. (Singgih, 2008).
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan
latar belakang diatas rumasan masalah penelitian ini adalah “Apakah itu carok, tradisi atau kriminalitas?”
C. TUJUAN
Berdasarkan
rumusan masalah diatas tujuan penelitian ini adalah”Untuk mengetahui apakah
carok bisa disebut sebagai tradisi atau bahkan kriminalitas”.
D. MANFAAT
Agar
pembaca, masyarakat dan penulis khususnya mengetahui bahwa carok bukanlah jalan
yang baik untuk menyelesaikan suatu masalah.
BAB
II
KAJIAN
PUSTAKA
A. TRADISI CAROK
a.
Pengertian
carok
Carok adalah
sebuah pembelaan harga diri ketika diinjak-injak oleh orang lain, yang
berhubungan dengan harta, tahta, dan, wanita. Intinya adalah demi kehormatan.
Ungkapan etnografi yang menyatakan, etambang pote mata lebih bagus pote
tolang (dari pada hidup menanggung perasaan malu, lebih baik mati
berkalang tanah) yang menjadi motivasi Carok. (Mien, 2007)
Carok yaitu
suatu tindakan atau upaya pembunuhan (karena adanya penganiayaan berat)
menggunakan senjata tajam, pada umumnya cekurit yang dilakukan oleh orang
laki-laki terhadap laki-laki lain yang telah melakukan pelecehan terhadap harga
diri (baik secara idividu sebagai suami maupun secara kolektif yang mencakup
kerabat atau keluarga). Terutama harga diri (martabat) yang
kaitannya dengan masalah kehormatan istri sehingga timbul perasaan malu (maloh) saat
terjadi pelecehan. (Wiyata, 2002:184)
Budaya Carok dan Celurit Menurut Zulkarnain, dkk. (2003: 75)
Carok dalam bahasa Kawikuno artinya perkelahian. Biasanya melibatkan dua orang
atau dua keluarga besar. Carok adalah sebuah pembelaan harga diri ketika
diinjak-injak oleh orang lain, yang berhubungan dengan harta, tahta, dan
wanita.
Semua kasus Carok diawali oleh
konflik, meskipun konflik tersebut dilatar belakangi oleh permasalahan berbeda
(masalah perempuan, kasus lainnya tuduhan mencuri, perebutan warisan,
pembalasan dendam), semuanya mengacu pada akar yang sama, yaitu perasaan malo karena
pelecehan harga diri (martabat). Untuk memulihkan harga diri yang dilecehkan,
mereka melekukan Carok, yang ternyata selalu mendapat dukungan dari
lingkungan sosial. Apapun cara Carok yang dilakukan, semua
pelaku Carok yang berhasil membunuh musuhnya menunjukkan
perasaan lega, puas, dan bangga. Pengertian harga diri (martabat) dalam kaitannya
dengan perasaan malo yang ditimbulkannya ketika terjadi pelecehan,
kedua hal ini merupakan faktor pemicu utama orang Madura melakukan Carok,
selain faktor lainnya (A. Latief, 2002).
Dalam
realitas sosial kehidupan Madura, tindakan mengganggu istri orang atau
perselingkuhan merupakan bentuk pelecehan harga diri paling menyakitkan bagi
laki-laki orang Madura, dan biasanya tidak ada cara untuk menebusnya kecuali
dengan membunuh (Carok) orang yang mengganggunya. Kaitannya dengan ini, seorang
penyair Madura, Imron (Dalam Wiyata, 2006:173), menemukan ungkapan yang
berbunyi, “saya kawin dinikahkan oleh penghulu, disaksikan oleh orang banyak,
serta dengan memenuhi peraturan agama. Maka siapa saja yang mengganggu istri
saya, berarti menghina agama saya sekaligus menginjak-injak kepala saya.” Dari
ungkapan ini sudah jelas, bahwa martabat dan kehormatan istri merupakan
manifestasi dari martabat dan kehormatan suami, karena istri adalah landasan
kematian. (Wiyata, 2006: 170-174)
Jika dicermati lebih dalam lagi dari apa yang dipaparkan di
atas, pada dasarnya mengandung makna bagaimana orang Madura memandang institusi
perkawinan, secara khusus, dan bentuk pelecehan harga diri yang lain
secara umum, sebagai bentuk maskulinitas. Orang Madura memandang institusi
perkawinan sebagai manifestasi kelaki-lakian (maskulinitas). Maksudnya, seorang
laki-laki baru akan menemukan dirinya sebagai seorang laki-laki apabila telah
menikah.
Dalam ungkapan lain, tindakan mengganggu istri disebut
sebagai aghaja’ nyaba, yang pengertiannya sama dengan tindakan
mempertaruhkan atau mempermainkan nyawa. Dalam kehidupan sosial di antara
hak-hak dan kewajiban itu, boleh jadi hak-hak dan kewajiban masyarakat,
misalnya dalam konteks Carok, perlindungan terhadap perempuan
(istri), menjadi bagian dari kewajiban masyarakat, sehingga tindakan mengganggu
kehormatan mereka selalu dimaknai sebagai tindakan arosak atoran (merusak
tatanan sosial). Tindakan mengganggu kehormatan istri, selain dianggap tindakan
yang melecehkan harga diri suaminya, juga dianggap merusak tatanan sosial. Oleh
karena itu, menurut pandangan orang Madura, pelakunya tidak bisa diampuni dan
harus dibunuh. Jika terjadi permasalahan berupa gangguan terhadap istri, ada
dua alternatif yang akan dilakukan oleh seorang suami.
b.
Tujuan Carok
Carok senantiasa dilakukan sebagai ritus balas dendam terhadap
orang yang melakukan pelecehan harga diri, terutama gangguan terhadap isteri,
yang membuat lelaki Madura malo (malu) dan tada’ tajina (direndahkan
martabatnya). Carok telah menjadi arena reproduksi kekerasan. Korban carok,
tidak dikubur di pemakaman umum melainkan di halaman rumah. Pakaiannya yang
berlumur darah disimpan di almari khusus agar pengalaman traumatik terus
berkobar guna mewariskan balas dendam
Zulkarnain,
dkk. (2003: 80) Sasaran utama carok
balasan adalah pemenang carok sebelumnya atau kerabat dekat (taretan dalem)
sebagai representasi musuh. Pilihan sasaran jatuh pada orang yang dianggap kuat
secara fisik maupun ekonomi agar keluarga musuh tidak mampu melakukan carok balasan.
Sedangkan keberadaan celurit punya makna filosofi di mata orang Madura, ini
bisa dilihat dari bentuknya yang seperti tanda tanya, itu menunjukkan bahwa
orang Madura selalu tidak puas terhadap fenomena yang terjadi di sekitarnya.
Kebiasaan orang Madura ketika membawa celurit selalu diletakkan di pinggang
samping kiri, karena menurut orang Madura tradisi seperti itu sebagai upaya
pembelaan harga diri laki-laki di Madura, dan sebagai pelengkap karena tulang
rusuknya laki-laki kurang satu. Makanya orang Madura menggunakan celurit untuk
melengkapi tulang rusuknya yang kurang satu. Celurit untuk membela istri,
harta, dan tahta ketika digangu orang lain, dan orang laki-laki Madura belum
lengkap tanpa celurit. Keberadaan orang Madura sebagai orang tegalan yang
tandus dan gersang, membuat mereka merasa kecil dan rendah hati sebagai orang
yang jauh dari pusat kekuasaan Singasari pada waktu itu.
c.
Penyebab
Eksistensi
Carok Menurut Fakhruddin, dkk. (1991: 132-133). Adapun yang menjadi eksistensi
budaya carok sebagai berikut:
1. Alam yang gersang. Teror eceran berbentuk carok merajalela akibat alam gersang,
kemiskinan, dan ledakan demografis. Pelembagaan kekerasan carok terkait erat
dengan mentalitas egolatri (pemujaan martabat secara berlebihan) sebagai akibat
tidak langsung dari keterpurukan ekologis (ecological scarcity). Lingkungan
sosial mengondisikan lelaki Madura merasa tidak cukup hanya berlindung kepada
Tuhan. Konsekuensinya senjata tajam jadi atribut ke mana kaum lelaki bepergian
yang ditunjukkan dengan kebiasaan ”nyekep”.
Senjata tajam dianggap sebagai kancana sholawat (teman shalawat).
2. Persetujuan sosial melalui ungkapan-ungakpan.
Ungkapan-ungkapan Madura memberikan persetujuan sosial dan pembenaran kultur
tradisi carok. Ungkapan-ungkapan tersebut diantaranya: Mon lo’ bangal acarok ja’ ngako oreng Madure (Jika tidak berani
melakukan carok jangan mengaku sebagai orang Madura); oreng lake’ mate acarok, oreng bine’ mate arembi’ (laki-laki mati
karena carok, perempuan mati karena melahirkan); ango’an poteya tolang etembang poteya mata (lebih baik berputih
tulang [mati] daripada berputih mata [menanggung malu]).
3. Proteksi berlebihan terhadap kaum wanita. Carok refleksi monopoli kekuasaan
laki-laki. Ini ditandai perlindungan secara berlebihan terhadap kaum perempuan
sebagaimana tampak dalam pola pemukiman kampong meji dan taneyan lanjang.
Solidaritas internal antar penghuni kampong meji sangat kuat sedangkan dalam
lingkup sosial lebih luas solidaritas cenderung rendah. Pelecehan atas salah
satu anggota komunitas dimaknai sebagai perendahan martabat seluruh warga
kampong meji.
4. Taneyan lanjang (halaman memanjang), memberikan proteksi khusus terhadap
anak perempuan dari segala bentuk pelecehan seksual. Semua tamu laki-laki hanya
diterima di surau yang terletak di ujung halaman bagian Barat. Martabat istri
perwujudan dari kehormatan kaum laki-laki karena istri dianggap sebagai bantalla pate (alas kematian).
Mengganggu istri merupakan bentuk pelecehan paling menyakitkan bagi lelaki
Madura.
5. Upaya meraih status sosial. Carok oleh sebagian pelakunya dipandang sebagai alat untuk meraih
status sosial di dunia blater. Kultur blater dekat dengan unsur-unsur
religio-magis, kekebalan, bela diri, kekerasan, dunia hitam, poligami, dan
sangat menjunjung tinggi kehormatan harga diri. Blater, memiliki peran sentral sebagai pemimpin informal di
pedesaan. Figur blater sejajar posisinya dengan figur kyai (Madura : keyae)
sebagai sosok pemimpin informal di Madura Bahkan banyak di antara mereka yang
menjadi kepala desa. Tentu saja, masyarakat cenderung takut, bukan menaruh
hormat, kepada kepala desa bekas blater itu, mengingat asal-usulnya yang kelam.
Tidak seperti figur kyai yang disegani dan dihormati karena kemampuannya dalam
keagamaan. Yang menarik di sini, juga terdapatnya figur kyai yang mempunyai
latar belakang blater atau sebaliknya (Wiyata, 2002).
6. Blater di Madura juga kerap dihubungkan dengan remo. Tradisi remo
(arisan kaum blater) merupakan
institusi budaya pendukung dan pelestari eksistensi carok. Remo berfungsi ganda, sebagai tempat transaksi ekonomi,
sekaligus penguatan status sosial. Juga merupakan sarana untuk membangun
jaringan sosial di kalangan bromocorah. Remo
bisa mengumpulkan uang dalam jumlah besar dalam tempo semalam. Lemahnya hukum.
Kebiasaan para pemenang carok untuk nabang (memperoleh keringanan hukum melalui
rekayasa peradilan) dengan menyuap polisi, hakim, dan jaksa juga turut berperan
melembagakan kekerasan di Madura.
Carok telah menjadi
komoditas hukum bagi mafia peradilan guna mengutip rente ekonomi dengan
memperdagangkan kriminalitas dan kekerasan. Ini salah satu sebab memberantas
carok ibarat menegakkan benang basah.
d.
Prasyarat Carok
Persiapan untuk
melakukan carok, termasuk memenuhi 3
syarat utama, yaitu kadigdajan, tampeng sereng, dan banda. (Wiyata, 2002: 45).
Untuk lebih jelasnya dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Kadigdajan (kapasitas diri) adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan
kesiapan diri secara fisik dan mental. Prasyarat fisik dapat berupa penguasaan
teknik bela diri. Prasyarat mental, pengertiannya lebih terkait dengan apakah
orang tersebut punya nyali, angko (pemberani), ataupun juga jago.
2. Tampeng sereng, menyangkut kepemilikan kekuatan yang diperoleh secara
non-fisik, seperti membentengi diri sehingga kebal terhadap serangan musuh.
Untuk maksud ini, pelaku carok meminta bantuan seorang “kiai”, yang akan
melakukan “pengisian” mantra-mantra ke badan pelaku carok. Aktifitas berkunjung
ke seorang ”kiai” ini disebut nyabis.
3. Prasyarat ketiga adalah tersedianya dana (banda). Dalam
konteks ini, carok mempunyai dimensi ekonomi, karena carok membutuhkan banyak
biaya. Biaya diperlukan antara lain untuk melakukan persiapan mental dengan
menebus mantra-mantra yang diperlukan, dan membeli celurit dengan kualitas
nomor satu, dan juga diperlukan sebagai persiapan untuk menyelenggarakan
kegiatan ritual keagamaan bagi pelaku carok yang kemungkinan terbunuh
(selamatan 7 hari, 40 hari, 100 hari, hingga 1000 hari sejak kematian). Selain
itu, juga untuk biaya hidup sanak keluarga (istri dan anak) yang kemungkinan
ditinggal mati atau ditinggal masuk penjara. Untuk pelaku carok yang masih
hidup, maka dana dibutuhkan untuk nabang, yaitu merekayasa proses peradilan
dengan menyerahkan sejumlah uang kepada oknum-oknum aparat peradilan agar
hukuman menjadi ringan, atau mengganti terdakwa carok dengan orang lain.
e.
Tata Cara Pelaksanaan
Carok
Carok
dapat dilakukan secara ngonggai (menantang duel satu lawan satu), atau nyelep
(menikam musuh dari belakang). Di zaman awal kemunculannya, carok banyak
dilakukan dengan cara ngonggai. Semenjak dekade 1970-an carok lebih banyak
dilakukan dengan cara nyelep. Dengan adanya kebiasaan melakukan carok dengan
cara nyelep maka etika yang bermakna kejantanan bergeser menjadi brutalisme dan
egoisme.
Menurut
Fakhruddin, dkk. (1991: 86), meskipun semua pelaku carok langsug menyerahkan
diri kepada aparat kepolisian, hal ini bukan berarti suatu tindakan jantan
(berani bertanggungjawab atas tindakannya) melainkan suatu upaya untuk
mendapatkan perlindungan dari aparat kepolisian terhadap serangan balasan
keluarga musuhnya. Dan hal itu kemudian tidak mencerminkan kejantanan sama sekali
ketika proses rekayasa peradilan dilakukan melalui praktek nabang.
f.
Celurit Sebagai Simbol Carok
Celurit dengan kualitas khusus biasanya dibuat atas dasar
pesanan, tidak diperjual belikan secara bebas di pasaran, kecuali celurit yang
memang ditujukan sebagai hiasan. Hal ini terkait karena para pengrajin celurit
tidak mau karyanya disalah-gunakan oleh orang yang memakainya. (Soedjatmoko dan
Bambang Triono, 2005: 64). Akan tetapi, di beberapa pasar desa (ibu kota
kecamatan), setiap hari pasaran juga terdapat beberapa pedagang yang secara
khusus menjual hasil usaha kerajinan tersebut
B. TRADISI
Menurut
Cannadine, Pengertian Tradisi adalah lembaga baru didandani dengan daya pikat
kekunoan yang menentang zaman tetapi menjadi ciptaan mengagumkan.
Pengertian
Tradisi dalam Arti Sempit adalah warisan-warisan sosial khusus yang memenuhi
syarat saja yaitu yang tetap bertahan hidup di masa kini, yang masih kuat
ikatannya dengan kehidupan masa kini.
Pengertian
Tradisi dilihat dari aspek benda materialnya ialah benda material yang
menunjukkan dan mengingatkan kaitan khususnya dengan kehidupan masa lalu.
Contoh tradisi:Candi, Puing kuno, Kereta Kencana, sejumlah benda-benda
peninggalan lainnya, jelas termasuk ke dalam pengertian tradisi.
Jadi Tradisi adalah segala
sesuatu yang disalurkan atau diwariskan dari masa lalu ke masa kini atau
sekarang.
a.
Sejarah
Tradisi Lahir
Tradisi lahir disaat
tertentu ketika orang menetapkan fragmen tertentu dari warisan masa lalu
sebagai tradisi. Tradisi berubah ketika orang memberikan perhatian khusus pada
fragmen tradisi tertentu dan mengabaikan fragmen yang lain. Tradisi dapat
bertahan dalam jangka waktu tertentu dan tradisi ini dapat hilang bila benda
material dibuang dan gagasan ditolek atau dilupakan.
Sejarah Tradisi lahir
yaitu melalui dua cara. Cara pertama,
tradisi muncul dari bawah melalui mekanisme kemunculan secara spontan dan tidak
diharapkan serta melibatkan rakyat banyak. Karena sesuatu alasan, individu
tertentu menemukan warisan historis yang menarik. Perhatian, ketakziman, kecintaan
dan kekaguman yang kemudian disebarkan melalui berbagai cata, memengaruhi
rakyat banyak. Sikap takzim dan kagum itu berubah menjadi perilaku dalam bentuk
upacara, penelitiaan dan pemugaran peninggalan purbakala serta menafsir ulang
keyakinan lama. Semua perbuatan itu memperkokoh sikap. Kekaguman dan tindakan
individu menjadi milik bersama dan berubah menjadi fakta sosial sesungguhnya .
Begitulah tradisi dilahirkan. Proses kelahiran tradisi sangat mirip dengan
penyebaran temuan baru, hanya saja dalam kasus tradisi ini lebih berarti
penemuan atau penemuan kembali yang telah ada di masa lalu ketimbang penciptaan
sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya. Cara
kedua, tradisi muncul dari atas melalui mekanisme paksaan. Sesuatu yang
dianggap sebagai tradisi dipilih dan dijadikan perhatian umum atau dipaksakan
oleh individu yang berpengaruh atau berkuasa. Raja mungkin memaksakan tradisi
dinastinya kepada rakyatnya. Diktator menarik perhatian rakyatnya kepada
kejayaan bangsanya di masa lalu. Kemudian militer menciptakan sejarah
pertempuran besar kepada pasukannya. Perancang mode terkenal menemukan
inspirasi dari masa lalu dan mendiktekan gaya "kuno" kepada konsumen.
Dua jalan kelahiran
tradisi itu tidak membedakan kadarnya. Perbedaannya terdapat antara tradisi asli
yaitu tradisi yang sudah ada di masa lalu dan tradisi buatan yaitu murni
khayalan atau pemikiran masa lalu. Tradisi buatan mungkin lahir ketika orang
memahami impian masa lalu dan mampu menularkan impiannya itu kepada orang
banyak. Lebih sering tradisi buatan ini dipaksakan dari atas oleh penguasa
untuk mencapai tujuan politik mereka.
b.
Penyebab
Perubahan Tradisi
Peyebab Perubahan
Tradisi disebabkan oleh banyaknya tradisi dan bentrokan antara tradisi yang
satu dengan saingannya. Benturan itu dapat terjadi antara tradisi masyarakat
atau antara kultur yang berbeda atau di dalam masyarakat tertentu.
Perubahan tradisi dari
segi kuantitatifnya terlihat dalam jumlah penganut atau pendukungnya. Rakyat
dapat ditarik untuk mengikuti tradisi tertentu yang kemudian memengaruhi
seluruh rakyat satu negara atau bahkan dapat mencapai skala global.
Perubahan tradisi dari segi
kualitatifnya yaitu perubahan kadar tradisi. Gagasan, simbol dan nilai tertentu
ditambahkan dan yang lainnya dibuang.
Fungsi tradisi yaitu sebagai berikut :
1. Tradisi
berfungsi sebagai penyedia fragmen warisan historis yang kita pandang
bermanfaat. Tradisi yang seperti onggokan gagasan dan material yang dapat
digunakan orang dalam tindakan kini dan untuk membangun masa depan berdasarkan
pengalaman masa lalu. Contoh : peran yang harus diteladani (misalnya, tradisi
kepahlawanan, kepemimpinan karismatis, orang suci atau nabi).
2. Fungsi
tradisi yaitu untuk memberikan legitimasi terhadap pandangan hidup, keyakinan,
pranata dan aturan yang sudah ada. Semuanya ini memerlukan pembenaran agar
dapat mengikat anggotanya. Contoh : wewenang seorang raja yang disahkan oleh
tradisi dari seluruh dinasti terdahulu.
3. Tradisi
berfungsi menyediakan simbol identitas kolektif yang meyakinkan, memperkuat
loyalitas primordial terhadap bangsa, komunitas dan kelompok. Contoh Tradisi
nasional : dengan lagu, bendera, emblem, mitologi dan ritual umum.
4. Fungsi
Tradisi ialah untuk membantu menyediakan tempat pelarian dari keluhan,
ketidakpuasan dan kekecewaan kehidupan modern. Tradisi yang mengesankan masa
lalu yang lebih bahagia menyediakan sumber pengganti kebanggalan bila
masyarakat berada dalam kritis.
C. KRIMINALITAS
Kriminalitas
menurut bahasa adalah sama dengan kejahatan (pelanggaran yang dapat dihukum)
yaitu perkara kejahatan yang dapat dihukum menurut Undang-Undang. (Poerwadarminta:1978)
Sedangkan
pengertian kriminalitas menurut istilah diartikan sebagai suatu kejahatan yang
tergolong dalam pelanggaran hukum positif (hukum yang berlaku dalam suatu
negara). (Zaiah:1985)
Pengertian
kejahatan sebagai unsur dalam pengertian kriminalitas, secara sosiologis
mempunyai dua unsur-unsur yaitu: 1) Kejahatan itu ialah perbuatan yang
merugikan secara ekonomis dan merugikan secara psikologis. 2) Melukai perasaan
susila dari suatu segerombolan manusia, di mana orang-orang itu berhak
melahirkan celaan. (Sidik:1955)
Dengan demikian, pengertian
kriminalitas adalah segala macam bentuk tindakan dan perbuatan yang merugikan
secara ekonomis dan psikologis yang melanggar hukum yang berlaku dalam negara
Indonesia serta norma-norma sosial dan agama
BAB
III
METODOLOGI
PENELITIAN
A. METODE PENELITIAN
Dalam
penelitian ini saya memilih menggunakan metode historis karena. Metode historis bertujuan untuk
merekonstruksi masa lalu secara sistematis dan obyektif dengan mengumpulkan,
menilai, memverifikasi dan mensintesiskan bukti untuk menetapkan fakta dan
mencapai konklusi yang dapat dipertahankan, seringkali dalam hubungan hipotesis
tertentu. Dengan metode historis, seorang ilmuwan sosial peneliti historis
yaitu orang yang mengajukan pertanyaan terbuka mengenai peristiwa masa lalu dan
menjawabnya dengan fakta terpilih yang disusun dalam bentuk paradigma
penjelasan.
Dengan demikian, penelitian dengan metode
historis merupakan penelitian yang kritis terhadap keadaan-keadaan,
perkembangan, serta pengalaman di masa lampau dan menimbang secara teliti dan
hati-hati terhadap validitas dari sumber-sumber sejarah serta interprestasi dari
sumber-sumber keterangan tersebut.
B. OBJEK PENELITIAN
Dalam
penelitian ini saya memilih masyarakat sebagai objek penelitian saya karena
pelaku carok itu sendiri adalah masyarakat, selain itu karna masyarakat adalah
media pembawa tradisi tersebut dari masa lalu ke masa sekarang
C. INSTRUMEN PENELITIAN
1.
Wawancara
Wawancara merupakan salah-satu usaha seseorang untuk
mengetahui atau untuk memperoleh informasi dengan proses tanya jawab kepada
beberapa orang yang mengetahui seluk-beluk tentang Carok secara keseluruhan yang terdiri dari tokoh masyarakat
setempat. Hal ini dilakukan untuk memperoleh suatu informasi yang bersifat
faktual dan nyata.
2.
Dokumentasi
Dokumentasi
merupakan suatu bukti dari penelitian Carok
di desa panglegur-pabian. Dokumentasi tersebut antara lain seperti; foto, film,
video penelitian, dll. Sehingga dapat menjadi salah satu media yang mendukung
dan suatu pembuktian yang nyata dalam sebuah penelitian. Namun, dalam
penelitian ini saya menggunakan dokumentasi yang berbentuk foto/gambar.
D. SETTING PENELITIAN
Saya
memilih desa panglegur pabian, menjadi tempat penelitian saya. Karena menurut
saya, disana saya bisa mendapat banyak pengetahuan tentang carok.
BAB
IV
HASIL
DAN PEMBAHASAN
A. Pendapat
masyarakat tentang carok
Pada suku Madura,
tindakan kekerasan mendapat pembenaran secara budaya dan bahkan mendapat
persetujuan sosial jika tindakan itu bertujuan mempertahankan harga diri dan
kehormatan. Carok biasanya terjadi jika menyangkut
masalah-masalah yang menyangkut kehormatan/harga diri bagi orang Madura
(sebagian besar karena masalah perselingkuhan dan harkat martabat/kehormatan
keluarga).
Pandangan itu
berangkat dari anggapan bahwa karakteristik (sikap dan perilaku) masyarakat
Madura itu mudah tersinggung, gampang curiga pada orang lain, temperamental
atau gampang marah, pendendam serta suka melakukan tindakan kekerasan. Bahkan,
bila orang Madura dipermalukan, seketika itu juga ia akan menuntut balas atau
menunggu kesempatan lain untuk melakukan tindakan balasan.
Pada kenyataannya,
salah satu karakteristik sosok Madura yang menonjol adalah karakter yang apa
adanya. Artinya, sifat masyarakat etnik ini memang ekspresif, spontan, dan
terbuka, ketika Lingkungan Sosial Budaya
Madura Ekspresivitas, spontanitas, dan keterbukaan orang Madura, senantiasa
termanifestasikan ketika harus merespon segala sesuatu yang dihadapi, khususnya
terhadap perlakuan oranglain atas dirinya. Misalnya, jika perlakuan itu membuat
hati senang, maka secara terus terang tanpa basa-basi, mereka akan
mengungkapkan rasa terima kasihnya seketika itu juga. Tetapi sebaliknya, mereka
akan spontan bereaksi keras bila perlakuan terhadap dirinya dianggap tidak adil
dan menyakitkan hati.
Keputusan perlu
tidaknya menggunakan kekerasan fisik dalam tindakan resistensi ini sangat
tergantung pada tingkat pelecehan yang mereka rasakan. Pada tingkat ekstrim,
jika perlu mereka bersedia mengorbankan nyawa. Sikap dan perilaku ini tercermin
dalam sebuah ungkapan: Ango'an Poteya
Tolang, Etembhang Poteya Mata (artinya, kematian lebih dikehendaki daripada
harus hidup dengan menanggung perasaan malu). Sebaliknya, jika harga diri orang
Madura dihargai sebagaimana mestinya, sudah dapat dipastikan mereka akan
menunjukkan sikap dan perilaku andhap
asor.
Mereka akan amat
ramah, sopan, hormat dan rendah hati. Bahkan, secara kualitatif tidak jarang
justru bisa lebih dari pada itu. Contohnya, ada ungkapan, oreng dadi taretan
(artinya, orang lain yang tidak punya hubungan apa-apa akan diperlakukan
layaknya saudara sendiri). Suatu sikap dan perilaku kultural yang selama ini
kurang dipahami oleh orang luar. Carok itu bisa terjadi kepada siapa saja.
Artinya, meski carok itu bukanlah tradisi atau menganut garis turunan, tapi
kalau menyangkut harga diri,martabat keluarga yang dilecehkan, maka carok bisa
jadi cara terbaik untuk menyelesaikan. Contohnya, ada satu keluarga yang tidak
carok, namun suatu ketika kepala keluarga itu tewas gara-gara dicarok. Hampir
bisa dipastikan sang anak ketika kejadian masih kecil, pada saat dewasa akan
melakukan perhitungan dengansi pembunuh orangtuanya. Apa yang dilakukan si anak
yang sudah dewasa itu bukanlah sikap balas dendam. Tetapi, merupakan pembelaan
atas nama keluarga. Hal sepertiini bisa terjadi sampai mengakar. Karena itu,
jangan heran, kalau mendengar cerita carok yang terjadi antar keluarga secara
berkepanjangan.
Begitu pula kasus Carok lain yang terjadi di Madura,
selalu bersumber dari perasaan malo tidak selalu hanya muncul secara
sepihak, tapi adakalanya pada kedua pihak. Salah satu contoh kasus adalah Carok
yang melibatkan Kamaluddin dan Mokarram ketika melawan Mat Tiken. Kamalludin merasa
malo karena tindakan Mat Tiken yang mengganggu istrinya dimaknai sebagai
pelecehan terhadap harga dirinya sebagai seorang suami, oleh karena itu,
Kamaluddin merasa malo, kemudian melakukan Carok kepada Mat
Tiken. Mokkaram yang ikut membantu Kamaluddin ketika menghadapi Mat Tiken juga
merasa ikutmalo, karena Kamaluddin adalah saudara sepupunya, yang dalam
kategori sistem kekerabatan Madura termasuk dalam kategori taretan dalem. Cara
Kamaluddin dan Mokaram melakukan Carok tersebut, oleh Mat Tiken, dimaknai
pula sebagai pelecehan terhadap harga dirinya sehingga menimbulkan perasaan malo.
Dengan mengacu pada salah satu contoh kasus Carok
tersebut, pelecehan harga diri sama artinya dengan pelecehan terhadap kapasitas
diri. Padahal, kapasitas diri seseorang secara sosial tidak dapat dipisahkan
dengan peran dan statusnya dalam struktursosial. Peran dan status sosial ini
dalam prakteknya tidak cukup hanya disadari oleh individu yang bersangkutan,
tetapi harus mendapat pengakuan dari orang atau lingkungan sosialnya. Bahkan,
pada setiap bentuk relasi sosial antara satu orang dan yang lainnya harus
saling menghargai peran dan status sosial masingmasing akan tetapi, ada kalanya
hal ini tidak dipatuhi. Bagi orang Madura, tindakan tidak menghargai dan tidak
mengakui atau mengingkari peran dan sosial pada gilirannya timbullah perasaan malo.
Dalam bahasa Madura, selain kata malo, juga terdapat kata todus,
yang dalam bahasa Indonesia selalu diterjemahkan sebagai malu. Dalam konteks
kehidupan sosial budaya Madura, antara malo dan todus mempunyai
pengertian yang sangat berbeda. Malo bukanlah suatu bentuk lain dari
ungkapan perasaan todus(A. Latief, 2002).
Pada dasarnya, todus lebih merupakan suatu ungkapan
keengganan (tidak ada kemauan) melakukan sesuatu, karena adanya berbagai
kendala yang bersifat sosial budaya. Misalnya, menurut adaptasi kebiasaan yang
berlaku di Madura, seorang menantu ketika sedang berbicara dengan mertuanya
tidak boleh menatap wajahnya secara langsung. Setiap menantu akan merasa todus
untuk berbicara kepada mertuanya dengan cara seperti itu. Jika
kemudian menantu itu tidak disengaja melanggar adat kebiasaan ini maka dia akan
merasa todus kepada lingkungan sosialnya, dan akan disebut sebagai
orang ta’tao todus (tidak tahu malu) atau janggal (tidak mengerti
etika kesopanan).
Dengan demikian, todus muncul dari dalam diri
seseorang sebagai akibat dari tindakan dirinya sendiri yang menyimpang dari
aturanaturan normatif. Sebaliknya, malo muncul sebagai akibat dari
perlakuan orang lain yang mengingkari atau tidak mengakui kapasitas dirinya.
Orang Madura yang diperlakukan seperti itu sama artinya dengan dilecehkannya
harga dirinya. Mereka kemudian akan selalu melakukan tindakan perlawanan
sebagai upaya untuk memulihkan harga diri yang dilecehkan itu. Tindakan
perlawanan tersebut cenderung sangat keras (dalam bentuk ekstrim adalah
pembunuhan). Suatu ungkapan yang berbunyi ango’an poteya tolang etembang
poteya mata (lebih baik mati daripada harus menanggung perasaan malo)
memberi indikasi sangat kuat tentang hal itu.
Bagi pelaku Carok yang menang dan tergolong sebagai
orang jago, ada kecenderungan akan selalu menyimpan celurit yang pernah
digunakan ketika membunuh musuhnya sebagai bukti atas kemenangannya itu.
Celurit ini disimpan dan dirawat dengan baik, tanpa mengusik sedikit pun
sisasisa darah yang masih melekat, meskipun akhirnya menjadi kering dan
terlihat sebagai bercakbercak hitam. Bercakbercak darah inilah yang menjadi
tanda bukti kepada semua orang bahwa celurit itu pernah dipakai untuk membunuh
musuhnya. Dengan demikian, celurit tersebut menjadi simbolisasi kemenangannya.
B.
Penyelesaian sengketa secara damai selain menggunakan carok
Ketika terjadi pelanggaran
norma-norma di dalam masyarakat berarti hukum yang berfungsi sebagai pengendali
kontrol sosial yang membuat keadaan tetap damai telah dilanggar. Bentuk-bentuk
pelanggaran tidaklah ditolerir dalam derajat yang sama karena konsepsi
batasbatas pelanggaran yang dapat ditolerir bersifat relatif, berbedabeda
sesuai dengan kebudayaan masyarakat setempat dan kebudayaan itu sendiri
bersifat relatif.
Mengenai masyarakat Madura di
Indonesia, telah menunjukan betapa identiknya Islam dan pentingnya peranan
ulama atau kyai dalam kehidupan orang Madura. Pengaruh Agama Islam terhadap
unsur kehidupan masyarakat Madura dapat dilihat terutamanya pada hubungan yang
erat antara ulama dengan anggota masyarakat. Besarnya peranan Islam dan ulama
atau kyai di dalam kehidupan orang Madura tidak hanya diketahui oleh masyarakat
umum tetapi juga pihak pemerintah Indonesia.
Dalam konteks rancangan
pembangunan misalnya, pihak ulama atau kyai yang lazimnya didekati untuk
mengetahui pandangan masyarakat Madura. Selain unsur tersebut, bahasa dan
budaya Madura merupakan unsur yang penting untuk membedakan mereka daripada
etnik lain yang terdapat di Jawa Timur. Sehubungan dengan itu, dapat
disimpulkan bahwa agama Islam, ulama atau kyai dan bahasa Madura dapat dianggap
sebagai asas atau panutan kepada pembentukan identitas masyarakat Madura.
Sehingga diharapkan dapat
dilakukan penyelesaian secara damai dengan melibatkan ulama atau tokoh agama
yang menjadi panutan tersebut sebagai pihak ketiga yang dapat memberikan jalan
tengah terbaik dan dapat diterima oleh kedua belah pihak yang bersengketa
tentunya selain daripada penyelesaian melalui jalur hukum.
BAB
V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Carok adalah tindakan
pembalasan dendam yang disebabkan oleh pelecehan harga diri seseorang terhadap
orang lain. Tindakan pembalasan dendam ini dilakukan dengan adu duel
(menggunakan senjata celurit) hingga ada korban yang mati, satu lawan satu dan
antara laki-laki. Bisa saja dilakukan secara massal (Carok massal), namun jarang terjadi. Motivasi Carok adalah pelecehan harga
diri terutama masalah perempuan, istri dan anggota keluarga, mempertahankan
martabat, perebutan harta warisan dan pembalasan dendam karena kakak kandungnya
dibunuh.
Carok adalah solusi bagi
masyarakat Madura dalam menyelesaikan konflik, karena sejarah yang sudah
berabad-abad lamanya membentuk mereka untuk tidak meyakini dan mempercayai pengadilan atau hukum yang
berlaku. Carok mungkin bukan peredam konflik. Tetapi salah satu
unsur Carok yaitu remo, dapat menjadi peredam konflik
karena merupakan tempat berkumpulnya para jagoan desa.
Pada zaman sekarang carok bagi
masyarakat Madura bukanlah dianggap sebagai perbedaan yang perlu dinilai
negatif atau dipertentangkan mengingat carok sendiri adalah merupakan bukan
penyelesaian sengketa yang mutlak dalam arti masih dilakukannya penyelesaian
secara damai sebagai antisipasi terjadinya carok tersebut yakni dengan jalan
melibatkan ulama atau tokoh agama setempat yang menjadi panutan dalam
masyarakat sebagai pihak ketiga dalam upaya menyelesaikan permasalahan
tersebut.
B. SARAN
Carok merupakan
kekurang mampuan sebagian masyarakat Madura dalam mengekspresikan budi bahasa,
karena mereka lebih mengedepankan perilaku-perilaku agresif secara fisik untuk
membunuh orang-orang yang dianggap musuh, sehingga konflik yang berpangkal pada
pelecehan harga diri tidak akan pernah mencapai rekonsiliasi. Carok hanya
akan mengakibatkan masalah-masalah baru yang mengakibatkan hilangnya nyawa
seseorang karena masalah yang sepele. Tradisi seperti ini hendaknya dihapuskan
karena hanya akan mengakibatkan nyawa melayang dengan sia-sia.
DAFTAR PUSTAKA
Mien Ahmad
Rifai,”Manusia Madura”,Pilar Media, Yogyakarta, 2007.
A. Latief
Wiyata,”Carok; Konflik Kekerasaan dan Harga Diri Orang Madura”, LKIS,
Yogyakarta, 2002.
W.J.S.
Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Cet. IV; Jakarta: Balai Pustaka,
1978). Zaiah Daradjat, Membina Nilai-Nilai Moral di Indonesia (Cet. IV;
Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1985).
Sidik
Doedireja, Kriminalitas (Bogor: Pelita, 1955).
http://www.kompasiana.com/ardieinstein/budaya-carok-sang-legenda-pak
sakera_54f413dc7455139f2b6c868c
Zulakrnain, dkk. 2003. Sejarah
Sumenep. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Sumenep
Fakhruddin, dkk. 1991. Senjata
Tradisional Lampung. Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan,
Direktorat Sejarah Dan Nilai Tradisional, Bagian Proyek Inventarisasi Dan
Pembendaharaan Nilai-Nilai Budaya Daerah Lampung
Soedjatmoko dan Bambang Triono,
2005, “Clurit dan Memudarnya Makna Carok”, dalam www.liputan6.com
LAMPIRAN
A. INSTRUMEN WAWANCARA
B. ANGKET
C. DATA
D. LEMBAR KONSULTASI
E. FOTO
Tidak ada komentar:
Posting Komentar